Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Kemudian, merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus ini mencuat, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus ini berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”
Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapan.
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.
Untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menutupi talangan hutang luar negeri yang dilakukan para bankir tersebut.Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di masa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan seperti tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di bursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitu pula pemiliknya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar