Kamis, 05 April 2012

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)


Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Kemudian, merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus ini mencuat, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus ini berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”
Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapan.
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.
Untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menutupi talangan hutang luar negeri yang dilakukan para bankir tersebut.Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di masa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan seperti tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di bursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitu pula pemiliknya).

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)


Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Kemudian, merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus ini mencuat, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus ini berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”
Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapan.
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.
Untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menutupi talangan hutang luar negeri yang dilakukan para bankir tersebut.Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di masa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan seperti tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di bursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitu pula pemiliknya).

Rabu, 04 April 2012

Kasus Aspek Hukum Perbankan


Di beberapa media adanya wanita cantik dan seksi melakukan pembobolan uang nasabah Citibank senilai Rp.17 milliar. Wanita cantik itu berinisial MD (47 tahun) pegawai Citibank Indonesia. Walaupun kasus pembobolan uang nasabah Citibank ini belum diumumkan secara detil modus operandinya oleh kepolisian, namun beberapa media mengabarkan bahwa yang bersangkutan memanipulasi data kemudian memindahkan rekening nasabah ke rekeningnya sendiri. Untuk melancarkan kejahatannya MD dibantu bawahannya yang berinisial D seorang teller di Citibank juga. Pada pokokya pembobolan uang nasabah tersebut dilakukan oleh pegawaibanksendiri.
Kasus pembobolan bank di Indonesia bukanlah kasus baru. Sejak 2002 lalu sejumlah kasus pembobolan bank terus terungkap. Sebelumnya, kasus pembobolan bank yang menghebohkan terjadi pada Bank BNI pada tahun 2003. Kasus itu melibatkan orang dalam bank tersebut yang membuat LC fiktif. Sejauh ini kasus pembobolan BNI adalah yang terbesar yaitu merugikan negara hingga Rp1,7 triliun. Kasus pembobolan bank kembali terungkap pada awal 2009 yang dimulai dengan kasus pembobolan BII senilai Rp15 miliar juga diikuti dengan kasus pembobolan Bank Mandiri, Bank Mega hingga Bank BCA yang merugikan miliaran rupiah. Sementara, Kasus yang terjadi di awal tahun ini terjadi pada Bank Mandiri yang dibobol sebesar Rp18,7 miliar juga Bank Danamon senilai Rp3 miliar. Sedangkan Kasus terakhir yang menghebohkan adalah pembobolan dana nasabah di Citibank yang melibatkan MD seorang karyawan citibank senilai Rp17 miliar. Terakhir kasus pembobolan bank nyaris dilakukan oleh Manager Bank BNI, namun aksi tersebut berhasildigagalkan.,
Untuk mengatasi masalah ini seharusnya kasus pembobolan uang nasabah bank tidak boleh dibiarkan terus terjadi, apalagi pembobolan uang nasabah dilakukan oleh orang dalam atau pegawai bank sendiri, jika kita tidak ingin kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi berkurang. Dari aspek hukum bagaimana agar kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi atau paling tidak dapat diminimalisir.




ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI Dampak Kenaikan Harga Bagi Konsumen


Konsumen adalah orang yang memakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan dari pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dinamakan disebut distributor. Adapun pengertian perilaku konsumen yaitu perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, menimbang, mengevaluasikan dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu.
Ketika sedang terjadi kenaikan harga, sebagai konsumen kita harus pintar dalam memilah–milah barang yang akan dibeli. Konsumen akan memilih barang sesuai dengan pendapatan, pendidikan, kebiasaan dan kebutuhan mereka. Para konsumen pun akan mencari barang dengan harga miring tetapi juga mempunyai kualitas yang baik, tapi tak jarang pula mereka memilih barang yang relatif murah tanpa memperdulikan kualitas barang tersebut.
Untuk seseorang yang memiliki harta lebih, biasanya tidak mempertimbangkan berapa harga barang tersebut, yang terpenting barang itu dianggap bagus, mempunyai kualitas terbaik maka dia akan membeli barang itu walaupun harganya tinggi. Tetapi bagi rakyat miskin, ini sangat membebani mereka. Saat harga normal saja kadang mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, apalagi saat terjadi kenaikan harga, hal itu sangat menyusahkan bagi mereka.
Dengan adanya kenaikan harga, hal ini sering membuat resah para konsumen. Semua konsumen pasti tidak menginginkan adanya kenaikan harga. Karena apabila terjadi kenaikan harga mereka harus mecari cara untuk menyiasati masalah ini agar kebutuhan mereka tetap terpenuhi walaupun sedang terjadi kenaikan harga. Sebagai contoh kenaikan harga sembako yang sering terjadi dapat membuat banyak konsumen resah, terutama para ibu-ibu rumah tangga. Mereka harus pintar menyiasatinya, terkadang para konsumen membeli harga sembako yang lebih murah tanpa mengetahui apakah apakah sembako tersebut mempunyai kualitas yang baik atau tidak, berbahaya atau tidak untuk kesehatan mereka nantinya.  
Untuk mengatasi masalah ini jika benar-benar sudah tidak mampu membeli barang karena kenaikan harga. Jalan terakhir yang bisa ditempuh adalah mengonsumsi apapun yang dapat dikonsumsi, di desa-desa dan di perkampungan banyak keluarga yang mengonsumsi nasi aking atau bisa disebut nasi basi, nasi ini hanya dikeringkan lalu dimasak kembali, nasi seperti ini jels tidak baik untuk gizi si konsumen, namun apa daya ketika ia tidak mampu membeli beras.